Minggu, 14 Februari 2016

ANEMIA SEKUNDER


Anemia penyakit kronik bukanlah diagnosis primer tetapi merupakan respons sekunder normal terhadap berbagai penyakit di bagian tubuh manapun.
Anemia ini timbul setelah terjadinya proses infeksi atau inflamasi kronik. Biasanya anemia akan muncul setelah penderita mengalami penyakit tersebut selama 1–2 bulan. 

Penyebab


Etiologi
Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit/kondisi seperti infeksi kronik, inflamasi kronik, dan lain–lain.
Infeksi Kronik
Inflamasi kronik
Lain-lain
v  Infeksi paru (abses, emfisema, tuberkulosis, bronkiektasis)
v  Endokarditis bakterial
v  Infeksi saluran kemih kronik
v  Infeksi jamur kronik
v  HIV
v  Meningitis
v  Osteomielitis
v  Infeksi  sistem reproduksi wanita
v  Penyakit Inflamasi  pelvik
v  Artritis reumatoid
v  Demam reumatik
v  Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
v  Trauma
v  Abses steril
v  Vaskulitis
v  Luka bakar
v  Osteoartritis
v  Penyakit vaskular kolagen
v  Polimialgia
v  Ulcus dekubitus
v  Penyakit Crohn

v  Penyakit hati alkoholik
v  Gagal jantung kongestif
v  Tromboplebitis
v  Penyakit jantung iskemik

  
Gejala
Keadaan anemia penyakit kronis ini ditandai dengan :
      Terganggunya keseimbangan zat besi
      Terhambatnya poliferasi dari sel-sel progenitor eritroid
      Kurang tajamnya respon eritropoetin

Hal-hal yang dapat memperparah keadaan anemia adalah sebagai berikut:
      Perdarahan
      Devisiensi vitamin (seperti kobalamin dan asam folat)
      Hypersplenisme
      Hemolisis autoimun
      Gangguan ginjal
      Radio atau kemo terapi

Patofisiologis
3 mekanisme patofisiologis yang umum dalam ACD (Erhabor & Adias, 2013):
       1.      Gangguan metabolisme besi intraseluler
    2.   Gangguan erythropoiesis karena penurunan jumlah produksi erythropoietin (EPO) dan respon medulla spinalis kepada EPO.
    3.   Penurunan  tingkat pertahanan (survival rate) eritrosit karena mekanisme yang tidak diketahui dalam pasien penderita kanker atau infeksi granulomatous kronis.
       4.    Chronic granulomatous infection: membentuk granuloma à herediter; pembengkakan makrofag karena sistem imun gagal menghancurkan zat asing (bakteri/fungi) karena gagal membentuk senyawa oksigen reaktif (radikal superoksida)
Dimulai dengan cacat pada erythropoietin yang menyebabkan kegagalan kenaikan produksi eritrosit yang disertai dengan kenaikan hemolysis. Medulla spinalis gagal mempercepat proses produksi eritrosit à Erythropoiesis berlanjut.

Bagan A
Pada bagan A, invasi mikroorganisme, munculnya sel-sel ganas, atau disregulasi autoimun menyebabkan aktivasi sel T (CD3 +) dan monosit. Sel-sel ini menginduksi mekanisme efektor sistem imun, sehingga menghasilkan sitokin seperti interferon g (dari sel T) dan faktor nekrosis tumor (TNF a), interleukin-1, interleukin-6, dan interleukin 10 (dari monosit atau makrofag).


Bagan B
Pada bagan B, interleukin-6 dan lipopolisakarida merangsang hati memproduksi protein hepcidin, dimana peningkatan kadar hepcidin dapat menghambat penyerapan zat besi duodenum.


Bagan C
Pada bagan C, interferon g, lipopolisakarida, atau keduanya meningkatan aktivitas transporter logam divalen 1 pada makrofag dan merangsang penyerapan zat besi (Fe2 +) didalam makrofag.
Interferon g dan lipopolisakarida menurunkan ekspresi dari transporter ferroportin 1 pada makrofag, sehingga menghambat ekspor besi dari makrofag, yang juga dipengaruhi oleh hepcidin. Pada saat yang sama, TNF a, interleukin-1, interleukin-6, dan interleukin-10 menginduksi ekspresi feritin dan merangsang penyimpanan dan retensi besi dalam makrofag. Mekanisme ini dapat menyebabkan penurunan konsentrasi besi dalam sirkulasi.


Bagan D
Pada bagan D, TNF a dan interferon g menghambat produksi eritropoietin di ginjal.


Bagan E
Pada bagan E, TNF a, interferon g, dan interleukin-1 secara langsung menghambat diferensiasi dan proliferasi sel progenitor erythroid. 
Terbatasnya ketersediaan zat besi dan penurunan aktivitas biologis erythropoietin menyebabkan penghambatan erythropoiesis yang dapat  memperburuk anemia.




Diagnosis
         ACD termasuk dalam anemia ringan namun dapat menjadi berat
         ACD dapat memiliki gejala yang mirip dengan iron-deficiency anemia à Dapat kombinasi keduanya
         ACD menunjukkan index produksi retikulosit yang rendah à produksi eritrosit berkurang/terganggu
         Pada orang > 50 tahun: Kadang dilakukan pemeriksaan medulla spinalis apabila pemeriksaan tes darah tidak menunjukkan
         Gejala dasar ACD
         Granulosit ↓
         Trombosit ↓
         ↑ Trombosit, nucleated RBC, dan sel prekursor secara mencolok
         ↑ LDH (Lactate Dehydrogenase) tanpa penjelasan
         Kondisi anemia tanpa penjelasan

Anemia penyakit kronis  vs Anemia Defisiensi Fe
Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia defisiensi besi dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Rendahnya besi di anemia penyakit kronis disebabkan aktifitas mobilisasi besi sistem retikuloendotelial ke plasma menurun, sedangkan penurunan saturasi transferin diakibatkan oleh degradasi tranferin yang meningkat. Kadar feritin pada keadaan ini juga meningkat melalui mekanisme yang sama.


Kadar Serum

Kadar Normal
         Serum Iron (SI)
         Pria                              : 65-176 mg/dL
         Wanita                        : 50-170 mg /dL
         Bayi                             : 100 sampai 250 mg/dL
         Anak-anak                   : 50 hingga 120 mg/dL
         TIBC                                         : 240-450 mg/dL [1]
         Saturasi transferin                  : 20-50%
         Ferritin
         Pria                              : 30-300 mg/L
         Wanita                        : 15-200 mg/L


Anemia Chronic Disease (Renal)
World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan konsentrasi hemoglobin
      < 13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause
      < 12,0 gr/dl pada wanita lainnya.  
The European Best Practice Guidelines untuk penatalaksanaan anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik mengatakan bahwa batas bawah hemoglobin normal adalah
      <11,5 gr/dl pada wanita
      <13,5 gr/dl pada laki-laki dibawah atau sama dengan 70 tahun
      <12,0 gr/dl pada laki-laki diatas 70 tahun.
The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik jika kadar hemoglobin
      < 11,0 gr/dl (hematokrit <33%) pada wanita premenopause dan pasien prepubertas
      < 12,0 gr/dl (hematokrit <37%) pada laki-laki dewasa dan wanita postmenopause.
berdasarkan PERNEFRI 2011, dikatakan anemia pada penyakit ginjal kronik jika Hb ≤ 10 gr/dl dan Ht ≤ 30%.
Hematokrit adalah proporsi volume darah yang terdiri dari sel darah merah. Tingkat hematokrit (HCT) dinyatakan dalam persentase. Misalnya, hematokrit 25% berarti ada 25 mililiter sel darah merah dalam 100 mililiter darah.

Etiologi
Faktor-faktor yang berkaitan dengan anemia pada penyakit ginjal kronik termasuk :
  1.   Kehilangan darah
Penyebab utama kehilangan darah pada pasien-pasien ini adalah dari dialisis, terutama hemodialisis dan nantinya menyebabkan defisiensi besi juga. Pasien-pasien hemodialisis dapat kehilangan 3 -5 gr besi per tahun. Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari
            2.      Pemendekan masa hidup eritrosit
Masa hidup eritrosit berkurang sekitar sepertiga pasien-pasien hemodialisis
            3.      Defisiensi Eritropoetin
Para peneliti mengatakan bahwa sel-sel peritubular yang menghasilkan eritropoetin rusak sebagian atau seluruhnya seiring dengan progresivitas penyakit ginjalnya. Defisiensi eritropoetin relatif pada penyakit ginjal kronik dapat berespon terhadap penurunan fungsi glomerulus.


            4.      Inflamasi
                   Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang rendah, saturasi transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran cadangan besi yang bermanifestasi dengan tingginya serum feritin. Peningkatan jumlah sitokin-sitokin inflamasi di sirkulasi seperti interleukin berhubungan dengan respon yang buruk terhadap pemberian eritropoetin pada pasien-pasien gagal ginjal

           5.      Defisiensi besi
          Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk alasan yang masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar transferin pada penyakit ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal, menghilangkan kapasitas sistem transport besi. Situasi ini yang kemudian mengganggu kemampuan untuk mengeluarkan cadangan besi.

Diagnosis
Pada penyakit ginjal kronik, keadaan anemia yang terjadi tidak sepenuhnya berkaitan dengan penyakit ginjalnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat dijadikan diagnosis setelah mengeksklusikan adanya defisiensi besi dan kelainan eritrosit lainnya
Beberapa poin harus diperiksa dahulu sebelum dilakukan pemberian terapi penambah eritrosit, yaitu:
  1. Darah lengkap
  2. Pemeriksaan darah tepi
  3. Hitung retikulosit
  4. Pemeriksaan besi (serum iron, total iron binding capacity, saturasi transferin, serum feritin)
  5. Pemeriksaan darah tersamar pada tinja
  6. Kadar vitamin B12
  7. Hormon paratiroid

Anemia of Chronic Disease (Chirrosis)
Etiologi
Bila alkohol sebagai penyebab kerusakan hati, maka alkohol juga ternyata dapat bersifat toksik  terhadap sumsum tulang sehingga terjadi penekanan hemopoesis. Peyebab lainnya yaitu:
  1. Penyakit kronis hati sendiri
Pada penyakit hati kronis, kemampuan untuk menghasilkan asam amino esensial  yang diperlukan untuk hemopoesis akan berkurang sehingga proses hemopoesis  akan terganggu dan dapat menyebabkan terjadinya anemia.
Pada sirosis hati bisa dijumpai anemia defisiensi besi yang biasanya sekunder terhadap adanya perdarahan, misalnya dari varises esofagus yang pecah.

  1. Defisiensi asam folat
Hati berfungsi sebagai tempat penyimpanan asam folat. Asam folat yang aktif (tetrahidrofolat) berfungsi sebagai Co-enzim dalam proses pendewasaan sel eritrosit di sumsum tulang. Sirosis hati menyebabkan :
a.              Kebutuhan asam folat meningkat
b.              Kemampuan metabolisme asam folat menurun
c.              Pengeluaran asam folat melalui urin meningkat
d.              Asupan asam folat dari makanan tidak mencukupi pada penderita sirosis hati.

  1. Defisiensi zat besi
Kadar besi plasma dan derajat saturasi diatur oleh hati yang juga sebagai tempat penyimpanan besi serta organ yang menghasilkan transferin. Pada sirosis hati, besi tidak dapat disimpan sehingga cadangan besi kosong yang mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.


  1. Hipersplenisme
Pada sirosis hati dengan hipertensi portal, selalu terjadi splenomegali. Limpa yang membesar memegang peranan yang penting dalam penangkapan dan penghancuran eritrosit. Pada sirosis hati sering terjadi hipersplenisme dengan akibat limpa memfagositosis sel-sel darah secara berlebihan.

  1. Hemolitik.
Pada penyakit hati alkoholik, masa hidup eritrosit cenderung menurun. Alasan mengapa terjadi penurunan umur eritrosit ini, belum  sepenuhnya dimengerti.
Pada kegagalan fungsi hati berat, penimbunan kolesterol  dalam membran eritrosit tanpa penimbunan lesitin, mengakibatkan terbentuknya spur  sel. Spur sel (akantosit) berhubungan dengan hemolisis, masa hidup eritrosit memendek dan menandakan penyakit hati yang berat serta mempunyai prognosa  yang buruk.  
Pada sirosis hati dengan peningkatan asam empedu, dijumpai aktivitas  enzim lesitin cholesterol acyl transferase (LCAT) terganggu. Ini menyebabkan rasio  kolesterol dan lesitin membran eritrosit berubah, sehingga kekenyalan membran eritrosit menjadi kaku, mudah terjadi skuesterisasi di limpa dan terjadi hemolisis.

Gejala
Gejala-gejala yang timbul antara lain adalah:
  1. Mudah lelah
  2. Lemas
  3. Selera makan berkurang
  4. Perasaan perut kembung
  5. Mual
  6. Berat badan menurun
  7. Gangguan pembekuan darah
  8. Pendarahan gusi
  9. Muntah darah

Diagnostik Klinik
Diagnosa ditegakkan dengan dijumpai gejala gejala dan tanda tanda anemia disamping gejala dan tanda sirosis hati. Melakukan pemeriksaan darah tepi, serum darah dan sumsum tulang

Pemeriksaan Laboratorium
  1. Pemeriksaan Darah Tepi
-          Kadar Hb rata-rata 9-10 gr/Cl
-          Jika diikuti dengan komplikasi pendarahan, hemolitik atau nutrisi  megaloblastik Hb rata rata5-6 gr/Cl
-          Trombosit menurun sekitar 60.000 – 120.000 gr/dl
  1. Pemeriksaan Serum Besi
-            Serum besi peka terhadap kekurangan zat besi ringan
-            Akan menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin menurun
-            Nilai normal: 7-200 μg pada pria dan 60-170 μg pada wanita
  1. Pemeriksaan Serum transferin
-          Pemeriksaan biasanya dilakukan secara tidak langsung dengan mengukur kapasitas total ikatan besi (TIBC).
  1. Pemeriksaan Serum feritin
-          Serum Feritin < 12 ng/ml -> Kekurangan besi
-          Rentang normal: Pria 20-250 ng/ml; Wanita 10-200 ng/ml
  1. Pemeriksaan Saturation Transferin
-          Indikator paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang
-          Jika terjadi penurunan kejenuhan tranferin dibawah 16% maka suplai besi ke sumsum tulang berkurang
-          Rentang Normal 20-45%
  1. Pemeriksaan Sumsum Tulang Belakang
-          Untuk menentukan aktifitas seluler sumsum tulang dan menaksir cadangan besi dalam tubuh
-          Penilaian histologis sumsum tulang untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel sel retikulum.










Sumber:
      Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
      Erhabor & Adias. 2013. Haematology Made Easy. Indiana: AuthorHouse.
      Rubenstein, David dkk. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Jakarta: Erlangga
      Weiss G, Goodnough. Anemia of Chronic Disease. NEJM. 2005;352:1011-23.
      http://m.cancer.gov/topics/treatment/bycancer/myelodysplastic/Patient
      https://www.inkling.com/read/wintrobes-clinical-hematology-greer-13th/chapter-41/anemia-in-cirrhosis-and-other


Tidak ada komentar:

Posting Komentar