Minggu, 31 Januari 2016

Hipoglikemia

Pada keadaan normal, karbohidrat masuk ke dalam tubuh dan diserap oleh dinding usus halus dalam bentuk monosakarida yaitu glukosa. Glukosa kemudian akan masuk kedalam aliran darah dan dibawa menuju ke hati dan disalurkan keseluruh sel-sel di jaringan tubuh. Dalam keadaan normal tubuh mempertahankan kadar glukosa darah antara 70-110 mg/dL. Untuk mengatur kadar glukosa dalam darah yang berlebih, Hati dan otot akan menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen, prosesnya disebut glikogenesis. Proses glikogenesis memerlukan bantuan hormon insulin yang dihasilkan dari sel β pulau Langerhans di pankreas. Hormon insulin akan mengubah glukosa menjadi glikogen sehingga akan menurunkan kadar glukosa darah. Namun bila kadar glukosa darah menurun secara abnormal maka akan memicu terjadinya suatu gangguan yang dikenal sebagai hipoglikemia.

Definisi

Hipoglikemia (hypoglicemia) berasal dari kata hipo (hypo) yang berarti rendah dan glikemia (glycemia) yang berarti gula. Hipoglikemia terjadi bila kadar glukosa darah menurun hingga dibawah 50/60 mg/dL. Berkurangnya kadar glukosa darah menyebabkan sistem organ tubuh mengalami kelainan fungsi. Hipoglikemia dapat dialami oleh bayi baru lahir, anak-anak, remaja maupun dewasa hingga lanjut usia. Hipoglikemia sebagian besar dialami oleh penderita diabetes yang berhubungan dengan obat tetapi juga bisa terjadi pada non-diabetes dengan etiologi tertentu.

ETIOLOGI HIPOGLIKEMIA

Hipoglikemia yang terkait diabetes, yaitu pada penderita diabetes (tipe 1) :
1.    Dimana pankreas tidak menghasilkan cukup insulin, sehingga kadar glukosa darah meningkat. Biasanya untuk menangani hal tersebut, penderita akan menggunakan insulin atau obat lain (sulfonylurea) untuk menurunkan kadar glukosa darah. Namun pemberian insulin harus dengan kadar yang tepat, pemberian insulin yang berlebihan dapat mengakibatkan terjadinya hipoglikemia.
2.    Jika penderita diabetes sesudah mengkonsumsi obat diabetes, penderita tidak makan seperti biasanya (lupa makan, makan terlalu sedikit) maka akan menyebabkan penurunan jumlah glukosa yang bersamaan dengan meningkatnya jumlah insulin sehingga akan terjadi Hipoglikemia.
3.    Hipoglikemia juga dapat terjadi jika penderita diabetes sesudah mengkonsumsi obat diabetes melakukan olahraga yang berlebih sehingga glukosa darah akan digunakan untuk menghasilkan energi. Selain itu jika penderita mengkonsumsi obat diabetes bersamaan dengan obat yang dapat menghambat kerja CYP450 juga dapat menyebabkan hipoglikemia karena obat yang menghambat kerja CYP450 akan menyebabkan metabolisme obat diabetes menjadi lambat, sehingga efek obat diabetes meningkat dan terjadi hipoglikemia.

Hipoglikemia pada orang non-diabetes, dapat disebabkan oleh beberapa faktor :
1.    Jika orang non-diabetes mengkonsumsi atau tidak sengaja mengkonsumsi insulin atau obat-obatan lain yang dapat menurunkan kadar glukosa darah.
2.    Hipoglikemia terjadi sebagai efek samping dari pengobatan terutama bagi anak-anak dan orang tua dengan gagal ginjal, contohnya Quinine yang digunakan untuk mengobati malaria atau efek mengkonsumsi obat-obat dalam jumlah besar seperti asam salisilat. Obat sulfa yang digunakan untuk mengobati infeksi bakteri, juga dapat menyebabkan hipoglikemia karena obat sulfa mengandung sulfur seperti obat diabetes sulfonylurea. Sehingga obat sulfa dapat memicu sekresi insulin. Jika insulin berlebih maka menyebabkan hipoglikemia.
3.    Hipoglikemia dapat terjadi jika produksi insulin yang meningkat, bisa disebabkan oleh tumor pankreas langka (insulinoma). Terjadi pembesaran sel β pankreas yang menyebabkan pelepasan insulin yang berlebihan.
4.    Kurangnya asupan karbohidrat dan aktifitas yang berat menyebabkan kadar glukosa darah berkurang akibat ketidakseimbangan glukosa darah yang ada dan yang dibutuhkan sebagai energi sehingga mengakibatkan hipoglikemia.
5.    Sering mengkonsumsi banyak alkohol dalam keadaan perut kosong. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan fungsi hati sehingga hati tidak dapat mengubah glukosa darah menjadi glikogen.

REAKSI BIOKIMIA

Hipoglikemia disebabkan karena meningkatnya produksi insulin yang mengakibatkan menurunnya kadar glukosa dalam darah. Kenaikan proses pencernaan dan penyerapan karbohidrat menyebabkan glukosa dalam darah meningkat, sehingga sintesis glikogen dari glukosa oleh hati akan naik. Sebaliknya, jika banyak kegiatan maka banyak energi untuk kontraksi otot sehingga kadar glukosa dalam darah menurun.Dalam hal ini glikogen akan diuraikan menjadi glukosa yang selanjutnya mengalami katabolisme menghasilkan energi dalam bentuk ATP.

Gejala dan Gambaran Klinis
Gejala yang dirasakan pada penderita Hipoglikemia adalah merasa cemas, hal ini disebabkan karena pelepasan hormon epinefrin dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung saraf. Epinefrin merangsang pelepasan gula dari cadangan tubuh, tetapi juga menyebabkan gejala kecemasan seperti berkeringat, kegelisahan, gemetar, dan juga pingsan. Untuk kasus hipoglikemia yang berat dapat timbul gejala yaitu pusing, mudah lelah, tidak mampu berkonsentrasi karena berkurangnya glukosa ke otak dan untuk yang cukup kronis dapat menyebabkan gangguan penglihatan, kejang, dan koma.
Kadar glukosa darah juga mempengaruhi gejala-gejala yang dialami :
-       Hipoglikemia ringan, yaitu terjadi pada kadar glukosa darah 50-60 mg/dL. Dapat diatasi sendiri, tidak mengganggu aktivitas sehari-hari yang nyata. Gejala berupa mual, lapar, tekanan darah turun.
-       Hipoglikemia sedang, yaitu terjadi pada kadar glukosa darah < 50 mg/dL. Dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata, otak mulai kekurangan asupan glukosa sebagai sumber energi. Gejala berupa sakit kepala, vertigo, perubahan emosi, perilaku irasional, gangguan koordinasi gerak, penurunan fungsi rasa.
-       Hipoglikemia berat, yaitu terjadi pada kadar glukosa darah < 35 mg/dL. Membutuhkan orang lain dan terapi glukosa untuk menanganinya, fungsi sistem saraf pusat mengalami gangguan berat: disorientasi, kejang, penurunan kesadaran.
DIAGNOSIS HIPOGLIKEMIA
Diagnosis hipoglikemia ditegakkan dengan cara pemeriksaan fisik dan pemeriksaan klinis. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan melihat gejala-gejala fisik hipoglikemia yang muncul pada pasien seperti cemas, lemah, sakit kepala, tidak mampu berkonsentrasi, gangguan penglihatan, kejang, dan gejala lainnya.
Pemeriksaan klinis dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar gula darah, yaitu :
a.    Gula Darah Puasa (GDP)
Gula darah yang diukur pada saat seseorang tidak makan atau minum sesuatu yang mengandung gula selama 8 jam terakhir, nilai normal gula darah puasa adalah antara 70 dan 100 mg/dL.
b.    Gula darah 2 jam setelah makan (GDPP)
Kadar gula darah yang diambil (diukur) pada saat 2 jam setelah makan kurang dari 140 mg/dL.
c.    Gula Darah Sesaat (GDS)
Pengukuran kadar gula darah kapan saja selain waktu di atas, nilai normalnya adalah 70 – 200 mg/dL.
d.   HBA1c, menunjukkan kadar hemoglobin terglikosilasi yang pada orang normal antara 4 - 6%.
Pada penderita hipoglikemia pemeriksaan diatas akan menunjukkan hasil yang lebih rendah dari normal. Selain mengukur kadar gula darah, dapat dilakukan pengukuran lainnya untuk mendiagnosis hipoglikemia :
a.    Pengukuran kadar Insulin.Kadar insulin yang tinggi dapat mengindikasikan hipoglikemia.
b.    Pengukuran C-peptida. Digunakan untuk memonitor produksi insulin dan untuk menentukan apakah kadar insulin yang tinggi karena pankreas berlebihan dalam melepas insulin.
c.    Pengukuran Antibodi terhadap insulin,apabila dicurigai karena autoimun.
d.   Pemeriksaan fungsi organpada hati, pankreas, dan kelenjar adrenal.

Pencegahan dan Pengobatan
Terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi hipoglikemia. Penanganan yang dilakukan harus berdasarkan pada penyebab dari hipoglikemia pada pasien. Beberapa terapi yang dapat dilakukan :
(1) Terapi glukosa oral dapat dilakukan dengan segera mengkonsumsi pisang, roti, atau karbohidrat kompleks lainnya,
(2) terapi glukosa intravenadengan cara injeksi.Keunggulan dari terapi ini adalah terapi dapat dilakukan pada penderita yang kehilangan kesadaran,
(3) memberikan suntikan yang mengandung glukagon karena hormon glukagon akan memecah glikogen sehingga kadar gula darah akan meningkat,
(4) hipoglikemia yang terjadi akibat dari gangguan fungsi organ hati, ginjal, kelenjar adrenal, atau pankreas, maka dapat sembuh jika gangguan tersebut diobati baik dengan obat-obatan atau dengan operasi,
(5) jika terdapat tumor penghasil insulin maka tumor tersebut dapat dioperasi atau dilakukan pengangkatan.

Pencegahan hipoglikemia dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan mengkonsumsi obat diabetes secara benar bagi penderita diabetes, kenali gejala-gejala hipoglikemia yang muncul, membatasi konsumsi minuman keras yang mengandung alkohol, memantau kadar glukosa darah secara berkala, mengkonsumsi karbohidrat sesuai dengan kebutuhan aktivitas yang akan dilakukan, dan menjalankan pola hidup sehat.

Sabtu, 30 Januari 2016

Galaktosemia

Definisi

Galaktosemia merupakan salah satu inborn errors metabolism pada karbohidrat yang dapat bersifat fatal serta mengancam jiwa selama periode bayi baru lahir. Galaktosemia merupakan kelainan genetik yang jarang ditemui dan merupakan kelainan genetik yang diturunkan secara autosomal resesif, artinya seorang anak harus mewarisi satu gen yang mengalami defek dari masing-masing orangtua agar manifestasi dari kelainan ini muncul. Galaktosemia pertama kali dideskripsikan di Jerman oleh von Reuss dan dikutip oleh George (1908) dan Goppert (1971), serta pertama kali dideskripsikan di Amerika Serikat oleh Mason dan Turner pada tahun 1935. Pada tahun 1953, Kalckar mengidentifikasi galaktosemia sebagai akibat dari defek pada metabolisme karbohidrat. Galaktosemia sering disebut juga sebagai diabetes galaktosa, galaktosuria esensial, galaktosemia kongenital, galaktosis, dan galaktemia. Angka insiden galaktosemia di populasi sangat bervariasi, yaitu 1 kasus per 4000-6000 orang di Amerika Serikat, 1 kasus per 70.000 orang di Inggris dan 1 kasus per 20.000 orang di Irlandia. Galaktosemia merupakan kasus yang sering dijumpai di antara populasi wisatawan Irlandia. Di Asia, kasus dari galaktosemia lebih jarang ditemukan. Di Indonesia sendiri belum ada data mengenai angka insiden dari kasus galaktosemia.

Galaktosemia dibagi menjadi 3 tipe, yaitu:
1.    Tipe 1(Galaktosemia klasik), merupakan kasus yang paling sering terjadi dan merupakan bentuk kasus yang sangat berat. Hal ini disebabkan karena defisiensi Galaktosa-1-fosfat uridil transferase (GALT).
2.    Tipe 2 (defisiensi Galaktokinase), disebabkan karena defisiensi galaktosa kinase (GALK/GALK1).
3.    Tipe 3 (defisiensi galaktosa epimerase), disebabkan karena defisiensi Galaktosa-6-fosfat epimerase (GALE).

Gejala dan Gambaran Klinis
Galaktosemia mempunyai gambaran klinis berupa aminoaciduria, hepatomegali, ascites. Hipoglikemia merupakan tanda yang paling jelas dari kelainan ini. Gejala dari galaktosemia antara lain kejang, iritabel, letargi, susah makan, berat badan yang sulit naik, jaundice, dan muntah. Septikemia (infeksi darah oleh bakteri E.coli) diduga penyebab dari gejala yang muncul.
Galaktosemia tipe II menyebabkan masalah klinis yang lebih sedikit daripada galaktosemia tipe klasik. Bayi yang menderita galaktosemia tipe II akan menderita  katarak dan juga komplikasi jangka panjang. Tanda dan gejala galaktosemia tipe II bervariasi mulai dari yang ringan hingga berat dan dapat juga terjadi katarak, pertumbuhan dan perkembangan yang terhambat, ketidakmampuan intelektual, penyakit hati, dan masalah pada ginjal. Bayi dengan galaktosemia yang terus diberi air susu ibu (ASI) dapat membuat gejala semakin berat dalam beberapa hari pertama setelah lahir. Galaktosemia dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang berupa kegagalan ovarium prematur dan gambaran neuropsikiatrik seperti gangguan fungsi kognitif, kesulitan belajar, perubahan perilaku seperti kecenderungan menarik diri dari lingkungan dan kesulitan berbicara, katarak, sirosis hati, retardasi mental, septikemia oleh bakteri E.coli, tremor, dan fungsi motorik yang tidak dapat dikendalikan, ataksia, serta penurunan kepadatan mineral tulang.


METABOLISME NORMAL GALAKTOSA


Galaktosa yang berasal dari metabolisme gula yang terkandung di dalam susu, laktosa (suatu disakarida dari glukosa dan galaktosa), akan mengalami fosforilasi oleh galaktokinase (GAL) menjadi galaktosa-1-fosfat. Epimerisasi dari galaktosa-1-fosfat menjadi glukosa-1-fosfat (G1P) membutuhkan transfer UDP dari uridin difosfoglukose (UDP-glukose) yang dikatalisa oleh galaktosa-1-fosfat uridil transferase. Hal ini menghasilkan UDP-galaktosa dan G1P. UDP-galaktosa di epimerisasi menjadi UDP-glukosa oleh UDP-galaktosa-4 epimerase. UDP akan ditukar dengan fosfat menghasilkan glukosa-1-fosfat yang kemudian akan diubah menjadi G6P oleh fosfoglukose mutase.


PATOGENESIS GALAKTOSEMIA

Galaktitol dan galaktosa-1-fosfat merupakan dua metabolit dari galaktosa. Galaktitol terdapat di dalam urin, lensa okuler, dan jaringan lainnya serta dapat menyebabkan terjadinya katarak sedangkan galaktosa-1-fosfat akan menyebabkan gejala klinis lainnya. Nilai galaktitol pada urin lebih dari 78 mmol/mol kreatinin merupakan kondisi yang abnormal.
Pada galaktosemia terjadi defisiensi enzim galaktosa uridil transferase (GALT) dan enzim ini dapat ditemukan pada eritrosit (sel darah merah) dan jaringan lainnya. Enzim GALT memiliki dua fungsi biokimia. Fungsi yang pertama yaitu mengubah UDP-glukosa menjadi glukosa-1-P.UMP-GALT intermediate akan dibentuk dan mengikat galaktosa-1-fosfat (gal - 1 - P) serta menghasilkan UDP-galaktosa. Keseluruhan reaksi ini akan membatasi tingkat produksi heksosa terhadap modifikasi post translasi dari glikoprotein dan glikolipid. Ketika aktivitas enzim GALT berkurang, maka akan terjadi gal-1-P, galaktosa, dan galaktitol. Gal-1-P akan berkompetisi dengan UTP-dependent glucose-1-P pyrophosphorylase untuk mengurangi produksi UDP-glukosa sehingga jumlah UDP-glu dan UDP-gal akan berkurang yang kemudian akan menyebabkan glikosilasi protein dan glikolipid yang abnormal. Galaktosa akan diubah menjadi galaktitol di dalam sel dan menghasilkan efek osmotik seperti pembengkakan serat lensa yang dapat menyebabkan katarak dan pembengkakan neuron yang dapat menyebabkan pseudotumor serebri. Ditinjau dari segi molekuler, galaktosemia disebabkan oleh mutasi pada gen GALT pada tipe I, gen GALK1 pada tipe II, dan gen GALE pada tipe III. Gen tersebut berfungsi dalam berbagai fungsi yang dibutuhkan untuk membuat enzim yang penting dalam proses metabolisme galaktosa. Galaktosa akan dipecah menjadi glukosa, bentuk gula sederhana lainnya, dan molekul lainnya dengan keberadaan enzim tersebut sehingga tubuh dapat dengan mudah mengubah produk ini dan menggunakannya sebagai sumber energi.
Terdapat dua tipe mutasi pada gen GALT yaitu tipe pertama dimana terjadi eliminasi komplit dari aktifitas enzim yang dihasilkan oleh GALT, disebut dengan galaktosemia klasik. Tipe kedua dari mutasi ini adalah mutasi pada gen GALT dimana terjadi reduksi dalam aktifitas enzim yang disebut dengan varian duarte galaktosemia. Varian duarte galaktosemia disebabkan oleh N314D. Homozigot dari N314D akan mengurangi aktifitas GALT menjadi hanya 50% dan penderita varian duarte cenderung akan memiliki gambaran klinis galaktosemia yang lebih ringan.

  Lokasi Gen GALT pada kromosom

Tanda panah menunjukkan lokasi gen GALT pada kromosom
Gen GALT terletak pada lengan pendek kromosom 9 pada posisi 13 (9p13). Lebih tepatnya lagi gen GALT terletak pada pasangan basa 34,646,634 dengan pasangan basa 34,650,573 pada kromosom 9.

DIAGNOSIS GALAKTOSEMIA

Diagnosis galaktosemia dapat dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan laboratorium:
1.    Diagnosis prenatal dengan cara mengukur konsentrasi enzim galaktosa-1-fosfat uridil transferase. Pada galaktosemia klasik aktifitas enzim GALT kurang dari 5% dari nilai kontrol dan nilai gal-1-P eritrosit lebih dari 10 mg/dl. Pada varian duarte galaktosemia, aktifitas enzim GALT biasanya 5% lebih tinggi dan sekitar 25% dari nilai kontrol.
2.    Tes elektroforesis GALT isoelektrik merupakan diagnosis molekuler yang spesifik. Alel GALT yang paling sering terjadi pada ras kaukasian adalah mutasi pada Q188r sedangkan pada ras kulit hitam mutasi sering terjadi pada S1351.
3.    Kultur darah pada infeksi bakteri (sepsis karena E. coli).
4.    Pengukuran aktifitas galaktosa-1-fosfat uridil transferase pada eritrosit (sel darah merah).
5.    Deteksi keton pada urin.

6.    Assay multipel enzim dari galaktosemia pada eritrosit menggunakan ultra -performance liquid chromatography - tandem mass spectrometry.

Jumat, 29 Januari 2016

Celiac Sprue

          Definisi
Celiac sprue adalah salah satu gangguan pada villi usus halus yang menyebabkan terjadinya malabsorpsi nutrisi. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa villi memiliki peran utama dalam absorpsi nutrient, jika villi rusak maka dapat dipastikan absorpsi nutrient akan terganggu.
Etiologi
Celiac sprue terjadi karena terjadinya kelainan autoimun yang diturunkan. Imun akan menyerang villi usus halus penderita celiac sprue yang mengonsumsi gluten (sejenis protein di dalam padi-padian)
Gejala
Gejala dan tanda celiac disease yang berhubungan dengan sistem pencernaan bergantung pada seberapa besar bagian usus yang mengalami kerusakan dan umur penderita. Gejala dan tandanya adalah sebagai berikut :
·        Pada bayi < 2 tahun : diare, steatorrhea (feses berlemak), berat badan turun, abdominal distention (buncit), atrofi otot, retardasi pertumbuhan (pertumbuhan terhambat sehingga tubuh penderita lebih kecil dari seharusnya)
·        Pada anak-anak dan orang dewasa biasanya muncul gejala apabila sudah mengalami malabsorpsi serius, gejalanya berupa diare kronis, dyspepsia, flatulence karena koloni bakteri dari nutrien yang tidak terabsorbsi normal, penurunan berat badan bergantung tingkat keparahan celiac disease yang dialami.
Selain gejala dan tanda dari si stem pencernaan, ada juga gejala lainnya seperti : kelelahan, depresi,  anemia defisiensi Fe, osteoporosis, bertubuh pendek, pubertas tertunda,  menstruasi yang tidak teratur, kesuburan berkurang, tubuh mudah memar, hyperkeratosis, dan gangguan saraf.
Diagnosis
Diagnosis penderita celiac sprue dapat dilakukan melalui 2 tahap yaitu screening test dan serologic test.
·         Screening test
Pada screening test penderita akan melakukan pemeriksaan darah pada umumnya dan hasilnya akan menunjukan beberapa gejala kelainan karena defisiensi nutrisi tertentu, sebagai contoh :
ü  Sel darah merah mikrositik karena defisiensi Fe.
ü  Anemia megalobastik karena defisiensi asam folat dan/atau vitamin B12.
ü  Osteomalacia atau osteoporosis karena malabsorpsi vitamin D atau kalsium.
ü  Protein albumin dalam darah rendh kareena kekurangan protein.
ü  Asidodis atau hypoakalemia karena diare.
·         Serologic test
Pada serologic test pasien akan menjalani tes serum antibodi yang terdiri dari beberapa macam :
ü  Tissue Transglutaminase Antibodies (tTG-IgA) Test : merupakan serologic test utama bagi penderita celiac sprue. Hasil test akan menunjukan positif 98% bagi penderita, sedangkan bagi pasien normal atau gangguan pencernaan lainnya hasil test akan menunjukan negative 95%.
ü  IgA Endomysial Antibody (EMA) test : Hasil test tTG-IgA dapat menunjukan kesalahan bagi penderita associated autoimmune disorders. Oleh karena itu terdapat alternative serologic test bagi penderita celiac sprue yaitu test EMA. Test ini memerlukan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan tTG-IgA test dan dalam pelaksanannya memerlukan sample jaringan esophagus atau tali pusar penderita. Akan tetapi berdasarkan riset 5-10% penderita celiac sprue menunjukan hasil negative pada test ini.
ü  Total serum IgA test : Apabila tTG-IgA dan EMA test menunjukan hasil yang negative, maka masih ada alternative serologic test lainnya yaitu test total serum IgA test. Test ini bertujuan mengecek terjadinya defisiensi IgA yang biasanya terjadi pada penderita celiac sprue apabila hasilnya positif maka pasien akan melakukan test lanjutan yaitu deaminated gliadi peptide (DGP IgA dan IgG) test.
ü  Deaminated gliadi peptide (DGP IgA dan IgG) test :test ini merupakan test lebih lanjut untuk penderita dengan defisiensi IgA positif dan tTG-IgA, EMA test negative.

Bagi pasien yang memiliki hasil tes serologi positif maka akan dirujuk untuk melakukan mucosal biopsy untuk memastikan apakah gejala yang dialami pasien disebabkan oleh celiac sprue atau memang ada gangguan lainnya. Mucosal biopsy lebih baik dilakukan dengan keadaan pasien masih mengonsumsi gluten untuk memastikan apakah benar pasien menderita celiac sprue. Berikut adalah hasil biopsy dari pasien penderita celiac sprue.

Kamis, 28 Januari 2016

Pankreatitis

Definisi

Pankreatitis adalah suatu kondisi dimana terjadi suatu peradangan pada organ pankreas yang terjadi sebagai hasil akhir autodigesti sel-sel pankreas oleh enzim di dalam pankreas itu sendiri. Berdasarkan tingkat keparahan sekaligus tingkat intensitasnya, pankreatitis dibagi menjadi :
1.      Pankreatitis akut adalah reaksi peradangan pankreas, secara klinis ditandai nyeri perut akut dengan kenaikan enzim dalam darah dan urin. Pankreatitis dapat merupakan episode tunggal atau berulang. Secara anatomi, pankreatitis akut diklasifikasikan menjadi 2 kelompok besar, yaitu :
a.       Pankreatitis akut interstitial yang ditandai dengan terjadinya edema (keluarnya cairan dari intrasel menuju ruang interstitium sel) yang menimbulkan pembengkakan dan warna pucat pada pankreas. Pada tipe ini tidak timbul pendarahan ataupun kematian sel-sel pankreas (nekrosis). Selain itu, sebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear (PMF) dan neutrofil tinggi di sekitar sel-sel pankreas. Sel asinus pada pankreatitis akut intersetitial yang merupakan sel penghasil enzim-enzim pankreas pun tidak mengalami destruksi.
b.      Pankreatitis akut hemoragik yang ditandai dengan terjadinya pendarahan serta nekrosis pada sel-sel pankreas (di lemak tepi dan parenkim pankreas). Pada tipe inilah mungkin timbul bakteri pada sekeliling daerah lika pankreas. Apabila pankreatitis tipe ini terus berlanjut, akan mungkin terjadinya hal yang lebih fatal, yaitu kerusakan pada pembuluh darah pankreas.
Pankreatitis akut yang sudah berat dapat mengakibatkan dehidrasi dan tekanan darah rendah. Apabila tidak dilakukan penanganan segera serta dibiarkan menahun, pankreatitis akut dapat segera berkembang menjadi pankreatitis kronis yang sulit untuk ditangani (sulit disembuhkan). Namun hal ini tidak selalu benar atau berlaku pada seluruh penderita pankreatitis kronis.
2.      Pankreatitis kronis adalah suatu kondisi pankreatitis menahun / terus-menerus yang bersifat progresif (perlahan dari ringan hingga berat) yang dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi normal pankreas. Pankreatitis kronis bersifat irreversibel. Penyebab paling sering adalah penggunaan alkohol berat. Klasifikasi pankreatitis kronis dibagi menjadi 3, yaitu :
a.       Kalsifikasi kronis à masuknya Ca ke dalam pankreas menyebabkan malnutrisi
b.      Obstruksi kronis à kerusakan pada saluran pankreas menuju duodenum yang parah
c.       Inflamasi kronis à proses peradangan / imunologis yang sudah sangat parah
Pankreatitis kronis yang sudah berat dapat mengakibatkan gejala-gejala seperti diabetes mellitus dan steatore (keadaan dimana terdapat lemak di dalam tinja).

2.7.2        Etiologi          
            Yang paling sering menyebabkan pankreatitis adalah alkoholisme dan batu empedu. Pada tingkat sel, etanol menyebabkan intraseluler akumulasi enzim pencernaan dan aktivasi prematur dan pelepasan. Pada tingkat duktal, meningkatkan permeabilitas ductules, memungkinkan enzim untuk mencapai parenkim dan menyebabkan kerusakan pankreas. Etanol meningkatkan kandungan protein getah pankreas dan menurunkan tingkat bikarbonat dan konsentrasi inhibitor tripsin. Hal ini menyebabkan terbentuknya sumbat protein yang menghalangi aliran pankreas. Sedangkan, Batu empedu akan menyumbat saluran pankreas menuju duodenum (batu empedu menetap di sfingter oddi). Akibatnya, saat sel sekretor (asinus) pankreas terus memproduksi enzim dan melebihi jumlah inhibitor yang tersedia di dalam pankreas, enzim-enzim dalam bentuk zimogen akan berubah menjadi bentuk aktif dan melakukan autodigesti sel-sel pankreas
            Banyak obat telah dilaporkan menyebabkan pankreatitis. Beberapa yang lebih umum termasuk obat AIDS DDI dan pentamidin, diuretik furosemide dan seperti hidroklorotiazid, yang antikonvulsan natrium dan asam valproat divalproex, agen kemoterapi L-asparaginase dan azathioprine, dan estrogen. Sama seperti halnya dengan kehamilan terkait pankreatitis,  estrogen dapat menyebabkan gangguan karena efeknya meningkatkan kadar trigliserida  darah.
            Pankreatitis herediter mungkin karena kelainan genetik yang membuat tripsinogen aktif dalam pankreas, yang pada gilirannya menyebabkan pencernaan dari pankreas dari dalam. Penyakit pankreas adalah gangguan yang sangat kompleks yang dihasilkan dari interaksi dari beberapa genetik, faktor lingkungan dan metabolik. Tiga calon untuk pengujian genetik saat ini sedang diselidiki antara lain tripsinogen mutasi (Trypsin 1), fibrosis transmembran Konduktansi Regulator Cystic Gene (''''CFTR) mutasi, dan SPINK1 yang kode untuk PSTI - inhibitor tripsin yang spesifik.
            Hipertrigliceridemia terjadi akibat pelepasan sejumlah besar sitotoksin dari asam lemak ke dalam sirkulasi pankreas.
            Gen-agen yang dapat menginfeksi pankreas seperti virus (measles, mumps, rubella, coxsackie B, cytomegalovirus, dan viru-virus hepatitis), bakteri (Legionella, Mycoplasma pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis), dan parasit (Ascaris). Organisme-organisme patogen tersebut mengaktifkan enzim proteolitik di pankreas. Enzim-enzim tersebut merusak sel-sel pankreas sehingga timbul pankreatitis.

2.7.3        Patofisiologi
Pankreatitis Akut
            Apabila terjadi peradangan akut pada pankreas, maka akan terjadi inisiasi aktivasi zimogen (enzim-enzim pankreas dalam bentuk tak aktif), iskemia (kurangnya aliran darah sekaligus O2 ke pankreas), dan kerusakan saluran pankreas menuju ke duodenum. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya :
1.      Faktor-faktor vasoaktif (untuk vasokonstriksi pembuluh darah)
Akibatnya dapat terjadi kerusakan pembuluh darah dan iskemia. Kedua hal tersebut akan merusak jaringan pankreas dan menimbulkan nekrosis (kematian sel).
2.      Pengeluaran enzim dalam bentuk aktif di dalam pankreas
Akibatnya dapat terjadi kerusakan pembuluh darah, iskemia, kerusakan jaringan dan nekrosis.
3.      Sistem imunologis oleh sitokin (misalnya TNF-α, IL-1, dan PAF)
Akibatnya dapat terjadi kerusakan pembuluh darah dan iskemia. Selain itu, proses imunologis oleh sitokin akan menimbulkan inflamasi yang menyebabkan kerusakan jaringan dan kematian sel pankreas (nekrosis).


Pankreatitis Kronis
1.      Teori Stress Oksidatif
      Hasil sampingan oksidasi yang terjadi dalam sel-sel hepatosit disekresikan ke dalam empedu. Empedu berefluks ke dalam duktus pankreatikus menyebabkan kerusakan oksidatif pada level sel asinar dan sel duktus. Paparan kronik terhadap stress oksidatif menyebabkan fibrosis.
2.      Teori toksik metabolik
      Bordalo dan kawan-kawan mengajukan teori bahwa alkohol secara langsung menjadi toksik bagi sel-sel asinar melalui perubahan pada metabolisme seluler. Alkohol memproduksi lipid sitoplasmik yang berakumulasi dalam sel-sel asinar, yang menyebabkan degenerasi lemak, nekrosis seluler, dan kemudian fibrosis yang meluas.
3.      Teori obstruksi batu dan duktus
      Henri Sarles menegaskan dualitas pankreatitis akut dan kronik, keduanya merupakan penyakit yang terpisah dengan patogenesis yang berbeda. Pankreatitis akut disebabkan oleh aktivasi tripsin dan autodigesti parenkimal yang tidak teratur, pankreatitis kronik dimulai dalam lumen duktus pankreatikus. Alkohol memodulasi fungsi endokrin untuk meningkatkan litogenisitas cairan pankreas, menyebabkan bentuk plak protein dan batu. Kontak kronik batu dengan sel-sel epithelial duktus menyebabkan ulserasi dan perlukaan, menyebabkan obstruksi, stasis, dan pembentukan batu lebih lanjut. Pada akhirnya, atrofi dan fibrosis berkembang sebagai dampak dari proses obstruksi.
4.      Teori nekrosis fibrosis
      Teori nekrosis–fibrosis. (A) suatu episode pankreatitis akut menyebabkan infiltrate sel-sel inflamasi akut dalam periduktal. (B) Fase penyembuhan pankreatitis akut melibatkan deposisi kolagen yang berefek pada daerah periduktal. (C) kompresi ekstrinsik duktus oleh kolagen menyebabkan obstruksi kompleks sel asinar. (D) obstruksi yang memburuk menyebabkan atrofi sel asinar, stasis dan efek sekunder pembentukan batu.

2.7.4        Gejala Klinis
Pankreatitis Akut
      Nyeri epigastrium hebat (menjalar ke punggung, sakit seperti disayat-sayat) . Sakit berkurang bila membungkuk kedepan/duduk
      Mual, muntah
      Perut kembung
      Demam
      Hipotensi (30 – 40 %)
      Ileus (10%) : Peningkatan lingkar perut
      Hiperbilinemia (40%)
      Grey Turner’s sign : kebiruan disudut costovertebra
      Cullen’s sign: kebiruan di daerah umbilikus

Pankreatitis Kronis
1.      Nyeri
      Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri abdomen. Juga terdapat distensi abdomen bagian atas dan terdengar bunyi timpani. Bising usus menurun atau hilang karena efek proses peradangan dan aktivitas enzim pada motilitas usus. Hal ini memperberat ketidakseimbangan cairan pada penyakit ini. Pasien dengan penyakit pankreatitis yang parah dapat mengalami asites, ikterik dan teraba massa abdomen.
2.      Insufisiensi eksokrin pankreas menyebabkan steatorea dan malabsorbsi yang menimbulkan penurunan berat badan.
3.      Hiperglikemia
      Komplikasi metabolik dari pankreatitis akut termasuk hipokalsemia dan hiperlipidemia yang diduga berhubungan dengan daerah nekrosis lemak disekitar daerah pankreas yang meradang. Hiperglikemia dapat timbul dan disebabkan oleh respon terhadap stress. Kerusakan sel-sel inset langerhans menyebabkan hiperglikemia refraktori. Asidosis metabolik dapat diakibatkan oleh hipoperfusi dan aktivasi hipermetabolik anaerob.


2.7.5        Diagnosis
Pankreatitis Akut



Pankreatitis Kronis
1.      Pemeriksaan Fisik
       Pasien umumnya tampak bergizi cukup dan nyeri abdomen ringan hingga sedang. Pada pasien alkoholik kronik dengan stadium lanjut, penurunan berat badan dan malnutrisi dapat ditemukan, atau ditemukan tanda-tanda stigmata penyakit hati alkoholik primer. Ikterus dapat ditemukan pada penyakit hati alkoholik atau kompresi duktus biliaris pada caput pankreas. Pembesaran limpa jarang ditemukan, limpa membesar pada pasien dengan trombosis vena   splenikus. Eritema pada epigastrium dan punggung dapat ditemukan akibat penggunaan obat topikal untuk mengurangi rasa sakit.
2.      Pemeriksaan Penunjang
-          Pemeriksaan Laboratorium

1.      Pemeriksaan darah. Pada stadium lanjut pankreatitis kronik, atrofi parenkim pankreas menyebabkan enzim serum dalam batas normal karena fibrosis pada pankreas yang berdampak pada konsentrasi enzim-enzim ini dalam pankreas.
2.      Pengujian feses. Uji makroskopis tinja, tinja memiliki karakteristik berlemak, lembek, tidak berbentuk (nonformed stool), berwarna coklat muda sampai kuning, kelihatan berminyak.
3.      Tes fungsi pankreas. Tes fungsi pankreas (PFTs) dapat membantu dalam mendiagnosis pasien yang mengalami sakit  perut berulang  tetapi memiliki hasil  pencitraan  dan laboratorium yang normal. Tes fungsi pankreas bisa dilakukan indirek (yakni, sederhana dan non-invasif) atau direk (yaitu, invasif). Indirek tes mengukur konsekuensi dari insufisiensi pankreas. Pada PFTs direk, pankreas dirangsang melalui pemberian makanan atau sekretagog hormon. Tak lama kemudian, cairan duodenum dikumpulkan dan dianalisis untuk mengukur isi sekretori pankreas normal.



-          Pemeriksaan Radiologi
1.      Ultrasonografi digunakan sebagai modalitas awal pada pasien dengan gambaran nyeri perut atas. Sonogram transversal memperlihatkan gambaran echogenik, pembesaran pankreas disertai dengan multipel focus kecil hiperekoik tanpa bayangan pada pankreas.
2.      CT scan menampilkan berupa dilatasi duktus pankreatikus mayor, kalsifikasi, perubahan ukuran, bentuk, dan kontur, pseudokista, dan perubahan pada duktus bilier. Nonenhanced axial CT scan pada pankreas memperlihatkan kalsifikasi granular pankreas.
3.      Diagnosis EUS CP didasarkan pada morfologi saluran dan parenkim. Yang bisa dinilai dari EUS yaitu fitur parenkim (kelenjar atrofi, fokus hyperechoic, kista terdampar, hyperechoic, Lobu-larity) dan fitur duktal (penyempitan, dilatasi, ketidakteraturan, bate, dilate si sidebranch, dinding hyperechoic).

4.      ERCP gram memperlihatkan duktus bilier berdilatasi berhubungan dengan striktur pada bagian bawah duktus bilier dan dilatasi duktus pankreas yang  berkelok-kelok. Sebuah stent kemudian diletakkan berseberangan dengan striktur pada duktus bilier. Kegunaan terpenting ERCP adalah  untuk menilai  kelainan stuktur  seperti stenosis saluran, batu, dan kista.